Rabu, 17 Februari 2010

Berjudi untuk Sahabat

Selasa, 17 Februari 2010
Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim

Kata sahabat adalah kata yang sangat enak didengar. Enak karena kata tersebut menunjukkan kepada sesosok orang yang mampu mendengarkan kita, memerhatikan, simpati, berbagi, dan saling mengisi. Hidup tanpa seorang sahabat bukanlah hidup yang dapat dinikmati karena kita tidak memiliki tempat untuk menyandarkan diri di saat kita lelah, memotivasi ketika kita jatuh, dan member semangat ketika kita sedang berjalan menuju kemenangan. Itu lah arti sahabat, dan mengapa sahabat itu penting.
Lalu apa beda sahabat dengan pacar? Selain sahabat itu bisa juga dari sesama laki-laki atau perempuan, kita mungkin pernah pada suatu saat mencintai seseorang seorang lawan jenis yang menurut kita istimewa. Seseorang itu sangat dekat dengan kita, sering saling curhat, ngerjain sesuatu bersama dll. Saling memperingatkan dan menasihati. Pada saat itu rasanya sangat bahagia, memiliki sahabat seperti itu. Namun, biasanya kita tidak puas dengan kebahagiaan yang telah kita miliki tersebut, berpikir bahwa memilikinya sebagai sahabat memiliki keterbatasan. Akhirnya, kita kadang-kadang memutuskan untuk bisa menjalin hubungan lebih lanjut, yang biasa disebut pacaran. Pertimbangan pun banyak dilakukan, apakah niatan ini nantinya akan berhasil membuat kita bersamanya atau malah merusak persahabat yang pernah dijalin.
Namun entah mengapa, karena beban perasaan dan psikologis, akhirnya yang kita pilih adalah mencoba meminta seseorang tersebut untuk menjadi pacar kita—walaupun mengungkapkannya dengan sangat sungkan. Kemungkinan pun ada dua, apakah ditolak atau diterima. Bagi yang diterima, maka bahagialah karena kita beranjak ke tingkat persahabatan yang lebih tinggi. Namun bagi yang diterima, beberapa konsekuensi harus siap kita tanggung.
Pertama, seseorang tersebut menghakimi kita melakukan blunder atau kesalahan yang fatal sehingga sulit dan akhirnya mengatakan, kita sudahi saja persahabatan ini. Kadang-kadang, ketika kita beraksi sejauh itu (memintanya menjadi pacar), dia merasa dikhianati sebab kita di kutuk telah mensalahartikan kebaikannya selama ini ketika dia menjadi sahabat. Sikapnya yang demikian membuatnya untuk tidak lagi percaya sama kita, padahal itu prinsip utama persahabatan. Sehingga untuk menjadikannya tetap menjadi sahabatpun susah. Memang, terasa ini tidak fair di mana sebenarnya sikap-sikapnya itu tidak beralasan yang tepat, karena kita sebenarnya tidak serendah itu. Kita pada awalnya mungkin hanya ingin mengekspresikan gejolak hati kita agar tidak menjadi beban yang terlalu lama terpendam. Tapi inilah salah satu konsekuensi yang harus siap dihadapi.
Kedua, kita dengan seseorang tersebut mampu membangun komitmen untuk tetap menjadi teman. Namun ternyata fakta membuktikan bahwa pertemanan setelah terjadi insiden seperti ini tidak akan mampu seindah dulu. Di mana saling canggung adalah sebabnya, dan menjadi garing sebagai akibatnya. Jelas, factor yang menyebabkan ini adalah saling kecurigaan, terutama berasal dari seseorang tersebut, yang merasa pasti kita tetap berteman atau bergaul karena ada maunya. Meskipun kecurigaan ini jarang terbukti, hal tersebut cenderung dipraktikkan. Pada akhirnya, walaupun kita sudah membuat komitmen untuk tetap menjadi teman/sahabat, selanjutnya hubungan tersebut bakal menguap. Seseorang tersebut tidak lagi bisa menjadi sesosok yang mampu mengeti, mendengarkan dan memotivasi kita—sahabatpun hilang.
Ketiga, kita dengan seseorang tersebut berkomitmen untuk menjadi teman/sahabat, namun berbeda dari yang kedua, karena kita dengan seseorang tersebut bisa menjalin hubungan yang lebih tinggi pada akhirnya, misal memilikinya bukan sebagai pacar, tapi malah sebagai istri atau suami. Ada beberapa alasan untuk ini: (a) alasan mengapa dia menolak, masalahnya bukan ada pada dari kita, namun komitmennya untuk fokus dalam studi, karier, atau ingin, menjaga nilai-nilai keagamaan. Bisa dikatakan, kita mengungkapkan cinta pada waktu yang belum tepat. Memang sering seseorang tersebut tidak mengatakan alasan mengapa ia menolak kita. Karena sebenarnya pertimbangan yang dia lakukan adalah untuk kebaikan kita. Dia tidak ingin kita terlalu bergantung dan terikat olehnya karena kita tahu bahwa alasan mengapa ia menolak adalah waktu kita yang belum tepat. Dia tidak mau, secara psikologis kita terbebani untuk menunggunya.
(b) yang kedua adalah memang pada saat kita mengungkapkan cinta (menembak), dirinya belum sama sekali memiliki rasa untuk kita. Namun, setelah dirinya mengetahui bahwa kita mencintainya, dia akan mencari tahu apakah kita memang benar-benar layak untuk dimilikinya. Ketika setelah itu kita menunjukkan bahwa diri kita berkualitas, diukur dari prestasi akademis, karir puncak, ketenaran, dsb, maka seseorang yang kita cintai tersebut akan menilai bahwa kita layak untuk dimilikinya. Ingat! Perasaan adalah hal yang sering dan pasti berubah. Ketika kita benci kepada seseorang hari ini, tidak berarti besok kita tetap membencinya, karena siapa tahu dia adalah seorang yang kita cintai. (c) selanjutnya adalah alasan yang luar biasa. “Kita tidak diizinkan Tuhan untuk berpacaran.” Ya, dengan segala kehendak dan kemampuan-Nya, meskipun kita sudah mencukupi syarat untuk dicintai, dan seseorang yang kita cinta merasa berhak memiliki kita, Tuhan bisa saja menciptakan suatu kondisi di mana itu tidak akan terjadi. Di mana pada akhirnya, niat untuk pacaran tidak terpenuhi. Itu adalah wujud kecintaan Tuhan kepada kita. Tuhan tidak mau, ketika Dia mengizinkan kita untuk pacaran, akhirnya kita lupa dengan-Nya. Tuhan tidak ingin, bahwa gara-gara pacaran, prestasi kita akan buruk, cita-cita tidak tercapai, dan kehidupan jauh dari nilai-nilai agama. Inilah kebesaran dan keagungan Tuhan yang begitu peduli dengan kita, sehingga mengintervensi niat kita untuk memiliki pacar. Berterimakasihlah pada-Nya!
Untuk sahabat, kita sering berjudi, mengundi nasib, menempuh ketidakpastian. Karena tidak puas memilikinya sebagai seorang sahabat, kita harus bergelut dan bersiap menanggung konsekuensi-konsekuensi ketika kita ingin memilikinya lebih dari sekedar sahabat. Kita selalu berharap, apapun yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan, mampu menjaga tali persahabatan. Untuk pengorbanan dan pengabdian yang kita lakukan, kita ikhlas karena itu adalah teruntuk sahabat. Pada akhirnya marilah kita bersama-sama sampaikan kepada sahabat kita di sana entah di mana, sambil berharap dia mendengarkan ucapan kita dengan hati kecil dan batinnya: Tak akan aku lupakan saat bersamamu. Tetaplah jadi sahabatku, seperti kaumenemukan dirimu dalam diriku (Ludwig van Beethoven)

Selasa, 16 Februari 2010

Kuliah: Biar dapet Ilmu atau dapet IP bagus?

Oleh: M Ghufron Mustaqim

Mulai senin depat aku udah mulai Semester II. Setelah kemarin libur lebih dari empat minggu. Untuk semester ini aku ngambil 24 SKS (atau 23 itu ya?). Ada Hukum Internasional, Sistem Sospol Indonesia, Kewarganegaraan, Kapita Selekta Kawasan, Organisasi Internasional, Pengantar Studi HAM, dan Pengantar Studi Demokrasi. Tentunya mengapa aku bisa mulai semester dua karena aku udah ujian di semester satu dan sekarang udah tahu hasilnya.

Hasilnya? Mau tahu? Aku dari 8 matakuliah yang aku ambil kemarin, udah 7 makul yang keluar. IP sementara 3,49. Semoga yang satu lagi dapat A biar bisa dongkrak nilai n cumloud. Aku sempat banyak menggerutu karena IP ku yang nggak sesuai rencanaku. Sebenarnya awal semester aku udah nge-set untuk dapat IP 4. Perfect! Karena bagiku itu tuh bagus buat personal image. Tapi kemudian aku pikir-pikir lagi, emang IP segitu pentingnya ya sehingga harus perfect?

Aku saat ini baru sadar bahwa aku tidak perlu menggerutu gara-gara IP ku yang tidak maksimal seperti ini. Ya, mungkin teman-teman sekelasku bisa dapat IP lebih bagus. Aku ucapkan selamat buat mereka. Namun, yang harus aku segera pahami bahwa IP hanyalah salah satu indicator kesuksesan studiku di kuliah. Maksudnya, IP buruk (tapi jangan buruk-buruk amat, setidaknya cumloud 3,5 lah) bukan berarti kapasitas intelektual ku kalah sama yang IP nya lebih tinggi dari iku. Karena mendapatka IP sempurna itu disebabkan oleh multifactor, selain kepandaian, yang terutama adalah ketekunan dan yang kedua adalah tipikal dosen. Tekun itu sangat berkaitan sama konsentrasi. Seorang yang memiliki intensitas aktivitas dalam atau luar kampus yang sedikit pasti bisa lebih konsentrasi sehingga bisa lebih tekun. Selain karena itu, tekun juga disebabkan oleh bawaan pribadi sih. Terutama cewek tuh yang banyak bawaannya tekun. Nah, kalau factor dosen sih memang kadang-kadang membuat IP itu nggak lagi fair. Dalam mata kuliah yang sama tapi dosen yang berbeda, standard mana yang layak dapat A atau B itu berbeda-beda. Ada yang killer dalam artian ngasih nilainya pelit, ada yang mudah. Sehingga dua mahasiswa yang secara kemampuan sama, ketika belajar dari dosen yang berbeda, bisa saja mendapatkan nilai yang berbeda. Sehingga pada akhirnya, aku menyimpulkan, sudahlah nggak usah pusing-pusing IP yang nggak sempurna, mendingan sekarang pikirin aja semester-semester selanjutnya.

Sekarang yang aku jadi patokkan kepuasan akademis kuliah adalah tentang seberapa luas ilmu pengetahuan yang bisa kita kuasai dari kuliah. Hal ini bisa dibuktikan dengan seberapa banyak dan berkualitas tulisan-tulisan kita, kontribusi kita di diskusi kelas, dan jawaban-jawaban yang kita berikan sewaktu presentasi. Selama kita masih bisa melakukan itu semua, cukuplah itu sebagai parameter kesuksesan akademis dan berpuaslah. Memang kalau dipikir orang yang seperti ini layak mendapatka IP yang sempurna. Namun ternyata bisa nggak karena orang ini bisa saja tidak tekun karena harus melakuakn multi tasking, dan oleh factor eksternal yang lain seperti dosen, tutor dll.

Selanjutnya, untuk mengcompromise IP kita yang nggak sempurna tadi kita harus membuktikan kalau kita masih punya another comparative advantage. Maksudnya skill yang jadi keunggulan kita, yang itu tidak diberikan di kelas sehingga jarang yang memilikinya, namun masih dalam konteks lingkup untuk mendukung akademik. Misal saja, kamu mendapatkan IP hanya 3,6, tapi kamu adalah penyiar radio sehingga skill presentasimu bagus, atau kamu jadi jurnalis di majalah kampus sehingga memiliki tulisan yang menarik. Pokoknya, comparative advantage itu harus ada. Mengapa? Karena itu lah yang akan tetap membuatmu stay out from the crowds, di atas rata-rata, terkenal, dan punya kebanggaan sehingga kamu diperhitungkan dan dihormati. Kalau aku, saat ini kan aktif di EDS (English Debating Society) UGM. Semacam klub debat universitas. Di komunitas ini aku dibiasakan berpikir kritis, memiliki perspektif yang beragam, dan menjadi public speaker yang bagus. Hal ini membuatku memiliki comparative advantage sebagai mahasiswa yang presentasinya ya “lumayanlah” di mana di saat kelompok-kelompok lain tidak dikasih tepuk tangan, eh waktu punyaku tepuk tangan ya “adalah.” Selain itu aku juga sering memproduksi tulisan-tulisan (note) kritis dan menarik (apa?) di facebook (komennya lebih dari 80an). Sehingga dari kedua hal itulah aku bisa memiliki comparative advantage sehingga tetap bisa eksis.

Sehingga at the end of this article aku cuma ingin mengingatkan, kuliahlah untuk memperbanyak ilmu, jangan pilih-pilih dosen hanya untuk IP bagus padahal tahu sendiri Mata Kuliahnya mungkin nggak kontributif terhadap minat kita. Milikilah comparative advantage, dan sukseslah kuliah kita. IP tidak sempurna bukan lah indicator bahwa secara intelektual kalah sama yang dapat IP lebih tinggi. Ingatlah factor eksternal-eksternalnya. Dan, selamat kuliah!

Minggu, 14 Februari 2010

Mengapa Harus Bekerja Keras, kalau Santai aja Bisa Sukses

Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim

Halo sahabat pembaca, aku ingat beberapa minggu yang lalu ada tulisan yang menginspirasiku. Aku dapat dari buku “The Lazy Person’s Guide to Success” karangannya Ernie J. Zelinski. Dari judulnya aja sudah menarik, tuntunan agar orang malas bisa sukses. Secara umum buku itu bercerita bahwa paradigma saat ini yang banyak dianut, yakni paradigma bekerja keras itu salah. Mengapa salah? Karena sulit kita menemukan kebahagiaan ketika kita menyibukkan diri dengan kerja keras. Misal, kita nggak lagi punya waktu luang untuk bersantai, bergaul, nonton, mengerjakan hobi kita, atau membaca buku-buku. Padahal hidup kita hanya sekali lho, seharusnya kita gunakan setiap waktu untuk menikmati kebahagiaan. Lebih lanjut buku itu mengisahkan bahwa sebenarnya orang-orang itu sibuk karena mengejar sesuatu yang dirinya sendiri tidak paham, apakah pada akhirnya bisa membawa kebahagiaan atau tidak. Gampangnya gini, pada umumnya tujuan bekerja keras itu adalah untuk uang. Ya, nantinya dengan bekerja itu mereka bisa mendapatkan uang. Tapi apakah uang tersebut bisa menjamin kenyamanan dan kebahagiaan hidup? Tidak sepenuhnya benar, karena dirinya tidak memiliki waktu cukup untuk itu, kan sudah berparadigma kerja keras.

Lalu sebenarnya yang kita butuhkan itu apa dong kalau bukan bekerja keras untuk meraih sukses? Jawabannya adalah, bekerjalah lebih sedikit dan berpikir lebih banyak. Itulah jawabannya. Dari jawaban ini kita akan segera tahu bahwa sebenarnya orang yang sukses BESAR, bukan sukses biasa, dalam hidup ini adalah orang-orang yang kreatif. Dan pasti tahu dong, kalau kreatif itu dihasilkan dari proses berpikir. Lihat saja, Bill Gates, Ciputra, atau Sandiaga S. Uno mereka adalah orang-orang yang sukses, di atas rata-rata orang kebanyakan. Apakah mereka sibuk? Tidak sepenuhnya, karena yang lebih sibuk adalah karyawan-karyawannya. Mereka ini adalah orang-orang yang berpikir, menjajaki kreatifitas, sehingga bisa demikian.

Aku ingin berbagi juga pengalaman pribadiku tentang mempraktikkan ilmu ini. Aku saat ini menjadi pelatih debat bahasa inggris di dua SMA di daerah Yogyakarta, satu negeri dan satunya lagi swasta. Dalam satu minggu aku bertanggungjawab melatih sebanyak dua kali di masing-masing sekolah tersebut. Satu pertemuan kurang lebih dua jam. Di kelas, aku mengajarkan tentang bagaimana cara menyusun argument, menyampaikan argument, melihat masalah dari sudut pandang lain, bagimana menjadi public speaker yang baik, dan juga memotivasi anak-anak untuk bisa maju debatnya. Sebuah aktivitas yang tidak memerlukan keringat, hanya bermodalkan mulut dan pikiran saja. Aku menerima hakku sebagai pelatih di setiap awal bulan. Rata-rata aku mendapatkan Rp 800.ooo per bulan. Belum lagi kalau aku diminta untuk melakukan intensive training untuk anak-anak debat tersebut ketika sekolah itu diundang untuk kompetisi, maka aku bisa mendapatkan lebih dari itu. Lumayan lah aku kira! Untuk seorang lulusan SMA tahun 2009 kemarin. Belum punya ijazah S1, semester 2 pun baru mau mulai.

Pada suatu malam, setelah selesai nglatih debat, aku mampir di tempat makan nasi goring pinggir jalan. Waktu itu sudah larut malam jadi sepi, sehingga mas-mas penjualnya tidak melayani pelanggan lain dan bercakap-cakap denganku. Tiba-tiba aku mempunyai inisiatif bertanya, “Mas! Setiap bulan penghasilannya berapa?” Masnya kaget, “Kenapa dik?” “Nggak papa, tanya aja mas! Init uh mas sewa atau miliki sendiri usaha ini?” Kemudian ma itu mulai menjelaskan, “Ini sewaan dik, mahal kalau mau punya usaha sendiri. Modal belum ada. Penghasilan setiap malam dari penjualan saya setorkan di Bos. Rata-rata penghasilan bersih yang disetorkan sekitar Rp 200.000. Gaji saya, setiap bulan tidak lebih dari Rp 450.000.” Aku lumayan kaget dengan jawaban masnya tadi. Berarti setiap malam hanya digaji Rp 15.000? Padahal kerjanya mulai dari Jam 5 sore dan pulangnya jam 1 malam (7 jam). Lagipula sebelum jam-jam itu pasti di kos (masnya asli Madura, di Jogja ngekos) udah habisin waktu untuk siap-siap, dan juga beli bahan di pasar. Aku kasihan mendengarnya. Aku kemudian membayangkan, kalau kuantitas waktu nglatih debatku seperi yang dihabisin mas-masnya untu berdagang, gajiku sebulan bisa mencapai Rp 5.775.000 per bulan. Berarti harga waktuku 13 kali lebih banyak dari harga waktu masnya.

Dari sini aku ingin menyampaikan bahwa aku bisa kerja lebih nyantai, lebih terhormat, dan ternyata menghasilkan uang yang jauh lebih banyak. Inilah fungsi kita memiliki pikiran. Akyu hanya butuh untuk memilih metode ngklatih yang efektif, baca isyu-isyu untuk bahan debat, lagi pula aku bisa bertambah pinter dengan aktivitasku seperti ini. Kerja dengan hanya mengandalkan tenaga fisik hanya akan berakhir demikian. Contoh lain adalah pekerja kasar bangunan yang setiap harinya digaji Rp 30.000, bekerja dari jam 8 pagi hingga 2 siang. Pastinya gaji arsitektur bangunan tersebut punya gaji berlipat lebih banyak, hanya perlu kreatifitas untuk menggambar, tanpa harus keluar banyak keringat mengangkat barang-barang.

Kesimpulan dari tulisanku hari ini adalah, mari kita pikirkan kembali aktivitas-aktiitas yang selama ini kita jalani dan anggap biasa. Apakah di sana masih ada cara lain untuk mengerjakan aktifitas-aktifitas tersebut sehingga lebih efektif, mudah dan menyenangkan? Dan marilah juga pikirkan, apakah kita sudah memiliki tujuan pasti ketika melakukan aktifitas tersebut? Selamat bekerja lebih sedikit, berpikir lebih banyak…dan rasakan kesenangan!

The Man on the Move: Introduction

14 Februari 2010 09:04 P.M.

Halo teman-teman, inilah blog dari beberapa blog yang aku buat. Bukan seperti blog-blogku yang lain yang bertema politik internasional, atau pemikiran filsafat, tapi di sini aku khususkan untuk tulisan-tulisan yang subjectnya lebih ke curhat sih. What?Curhat? Kayaknya nggak banget! Apalagi buat cowok kaya aku gini. Aku piker nggak juga sih. Apa yang ingin aku ceritakan disini bukan cerita-cerita desparate sampah yang nggak ada hikmahnya sama sekali. Tapi aku berusaha nulis pengalaman-pengalamanku dan hikmah apa yang aku dapat darinya. Sehingga, bisa juga dijadikan pertimbangan teman-teman ketika menemui suatu kondisi seperti yang udah tak alami.

Lalu kenapa alamat blogku ini themanonthemove? Aku terinspirasi nama blog seperti ini dari Film The Perfect Man. Tapi di sana nama blognya bukan the mon on the move, tapi the girl on the move. Maksud aku buat demikian sih karena aku orang yang sangat dinamis dalam keseharian. Baik itu dalam masalah prinsip, preferensi, bahkan cinta. Ya, I am the man who keep moving. Benar juga kalau orang-orang lain bilang aku sulit ditebak, lha wong aku aja sulit nebak sikapku sendiri kok. Wajar! Kata salah seorang temanku ketika aku konfirmasi, “Apa aku ini orangnya sulit ditebak?” Dia jawab, “Iya! Sulit!.” Aku tanya, “Bagus nggak sih jadi orang sulit ditebak?” “Bagus enggaknya sih tergantung, tapi memang anak pinter biasanya sulit ditebak kok, hhe” Ada-ada aja temanku ini, bilang aku pinter. Bilang aja kalau nggak bisa jawab pertanyaanku, kataku dalam hati. Apa benar jawaban temanku tadi?

Sebagai sharing pengalamanku yang pertama aku ingin bercerita kejadian yang sangat menarik di Bank Mandiri Cabang Jalan Kaliurang (Tempat Khusus Pembayaran Mahasiswa UGM) 26 Januari 2010 lalu ketika jadwal pembayaran SPP Semester II. Aku datang ke Bank jam 11 Siang. Otomatis di sana udah rame, antrean panjang. Semua teller sibuk melayani puluhan mahasiswa yang melakukan transaksi. Ruangan penuh sesak, untuk bergerak pun sangat sulit. Aku antri di salah satu barisan yang aku anggap paling pendek. Ada sekitar 15 orang didepanku. Aku nggak tahu kenapa, tapi perasaan kok tellernya lama banget nglayani satu konsumen. Nggak papalah batinku, toh yang ngrasain nggak cuma aku. Orang yang dibelakangku lebih parah malah.

Aku berdiri mengantri sambil membaca novel “Simple Genius” nya David Baldacci. Sekitar 20 menit aku udah berdiri, lumayan tinggal 3 orang lagi didepanku. Aku capek baca, novel aku taruh di tas. Siap-siap ngluarin uang biar ntar di teller nggak perlu ribet hitung uang lagi. Setelah itu aku lihat ke sekeliling yang ternyata ruangan ini tetep saja penuh. Di sampingku ada kursi antrean yang dipake buat nunggu, tapi aku tak menggunakannya. Di situ ada seorang cewek, mahasiswa tentunya. Dia tampaknya BT banget antri panjang, makanya duduk. Tiba-tiba ada seorang cowok yang mendatanginya. “Kamu udah bayar belum?” “Belum!” Jawab cewek itu. Cowok itu bilang, “Mana uangnya, sini aku serobotin. Mumpung di barisan pertama, ada temanku tuh!” “Ohh, ini!”. Dengan sok pahlawan cowok itu bilang, “Ayo kamu ikut aku!” Ternyata teman yang dimaksud di barisan pertama itu adalah orang yang sekarang antri pertama di barisanku. BARISANKU! Cowok dan cewek tadi, setelah temannya yang antri pertama selesai membayar, menggantikan posisinya. Dengan PD, tanpa melihat orang-orang yang antri dibelakangnya, TERMASUK AKU!

Orang-orang yang antri di belakangku pada menggerutu, menunjukkan sikap sebel! Mereka bilang uhhh..ini orang! Nggak tahu ini kita-kita antri dari tadi. Tapi gerutuan ini tentunya nggak kedengaran sama cowok dan cewek si penyerobot ini, maklum gerutuannya emang pelan dan nggak frontal. Bagaimana keadaan emosiku saat itu? Jelas, MARAH BESAR! Apalagi ditambah ketika tidak ada orang, khusunya yang antri di nomor dua, mengingatkan cowok cewek itu buat tidak nyrobot. Perhatikan apa yang aku lakukan kemudian!

Beberapa menit kemudian transaksi selesai, si cowok langsung keluar bank melewati kerumunan. Namun tidak melewatiku. Sedangkan si cewek balik ke tempat duduk di samping aku tadi, mungkin dia nge check ada yang ketinggalan di bangku nggak! Dari belakang aku tepuk pundak cewek itu, kemudian dia berbalik! Aku katakana, “Mbak Mahasiswa UGM bukan sih? Kok bodo banget. Nggak tahu orang-orang ini pada antri dari tadi apa? Emang kalau bisa nyrobot terus hebat? Bilang sama teman mbak tadi buat tes kejiwaan! Besok lagi antri!” Cewek itu diam aja, menunduk. Dia mungkin malu karena aku kata-katain di tengah keramaian. Dia mungkin marah dengan kata-kataku yang kasar. Dan dia mungkin merasa bersalah karena tidak antri. Perasaan itu bercampur jadi satu. Kemudian aku katakan, “Sekarang mbak harus minta maaf sama semua orang yang antri di barisan ini, Sekarang!!” Dengan canggung, cewek ini menuruti perintahku, minta maaf sama orang-orang yang antri. Ada sekitar 15 orang yang dimintai maaf. Setelah selesai dia nggak balik ke aku, tapi langsung keluar bank. Nggak tahu kenapa alasannya, yang jelas aku belum jadi dimintai maaf sekaligus “minta maaf” kekasaranku. Yaudahlah, kataku!

Aku terus lihat raut muka orang-orang yang ada disekelilingku. Mereka senyum-senyum! Apanya yang lucu? Kataku di dalam hati. Tiba-tiba orang di belakangku menyapaku “Mas, namanya siapa, jurusan apa? “Saya Ghufron HI 2009! Lha masnya?” Yang menanyakan aku ini adalah mahasiswa fakultas Sastra 2007. Dia kemudian memuji dan mengucapkan terimakasih atas yang aku lakukan tadi. Dan dia sedikit curhat, capeknya nunggu. Aku membatin, nggak perlu terimakasih, nggak penting. Lagipula aku melakukan ini bukan untuknya melainkan buat diriku sendiri! Lagipula ngapain masnya ini tadi nggak berani nyegah cewek tadi nyrobot!angkatan 2007 lagi. Its weird I think! Tiba-tiba giliranku sampai, aku membayar dengan uang yang udah aku siapkan tadi. Selesai terus aku keluar. “Duluan saya mas!” Aku pamit ke mas fakultas sastra tadi. Melewati krumunan antrian, orang-orang masih pada memandangku. “Jadi artis mendadak aku, ternyata gampang ya,hhe”

Apakah aku telalu kejam? Yang jelas marilah simak apa yang mau aku sampaikan dengan cerita tadi. Pertama, Perjuangkanlah hakmu sendiri, jangan berharap orang lain membantumu. Dalam konteks ini aku memperjuangkan hakku untuk mendapatkan jatah antriku sesuai seharusnya. Ya, aku tidak berhasil mencegah cewek tadi nyerobot karena memang aku bertujuan untuk memberi pelajaran kepadanya. Itu sudah pada level yang lebih tinggi/lebih “parah”, karena kalau tidak berani cukup mengingatkan cewek tersebut buat nggak nyrobot. Kedua, ingat pelajaran agama tentang amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan kebenaran? Maka perhatikan, sesungguhnya yang aku lakukan tadi dalam rangka demikian. Kalau tetap dibiarkan, gimana Indonesia bisa tertib dan dihormati, lha wong para akademisinya aja (UGM lho!) pada kaya gini. Ketiga, percaya dirilah terhadap sesuatu yang kamu anggap benar (dan memang benar). Jangan bisu, jangan takut! Karena hal ini jelas merugikan kamu karena tidak mendapatkan hak seharusnya yang kamu dapatkan, dan tentunya kamu kehilangan kesempatan beramal baik.