Rabu, 17 Februari 2010

Berjudi untuk Sahabat

Selasa, 17 Februari 2010
Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim

Kata sahabat adalah kata yang sangat enak didengar. Enak karena kata tersebut menunjukkan kepada sesosok orang yang mampu mendengarkan kita, memerhatikan, simpati, berbagi, dan saling mengisi. Hidup tanpa seorang sahabat bukanlah hidup yang dapat dinikmati karena kita tidak memiliki tempat untuk menyandarkan diri di saat kita lelah, memotivasi ketika kita jatuh, dan member semangat ketika kita sedang berjalan menuju kemenangan. Itu lah arti sahabat, dan mengapa sahabat itu penting.
Lalu apa beda sahabat dengan pacar? Selain sahabat itu bisa juga dari sesama laki-laki atau perempuan, kita mungkin pernah pada suatu saat mencintai seseorang seorang lawan jenis yang menurut kita istimewa. Seseorang itu sangat dekat dengan kita, sering saling curhat, ngerjain sesuatu bersama dll. Saling memperingatkan dan menasihati. Pada saat itu rasanya sangat bahagia, memiliki sahabat seperti itu. Namun, biasanya kita tidak puas dengan kebahagiaan yang telah kita miliki tersebut, berpikir bahwa memilikinya sebagai sahabat memiliki keterbatasan. Akhirnya, kita kadang-kadang memutuskan untuk bisa menjalin hubungan lebih lanjut, yang biasa disebut pacaran. Pertimbangan pun banyak dilakukan, apakah niatan ini nantinya akan berhasil membuat kita bersamanya atau malah merusak persahabat yang pernah dijalin.
Namun entah mengapa, karena beban perasaan dan psikologis, akhirnya yang kita pilih adalah mencoba meminta seseorang tersebut untuk menjadi pacar kita—walaupun mengungkapkannya dengan sangat sungkan. Kemungkinan pun ada dua, apakah ditolak atau diterima. Bagi yang diterima, maka bahagialah karena kita beranjak ke tingkat persahabatan yang lebih tinggi. Namun bagi yang diterima, beberapa konsekuensi harus siap kita tanggung.
Pertama, seseorang tersebut menghakimi kita melakukan blunder atau kesalahan yang fatal sehingga sulit dan akhirnya mengatakan, kita sudahi saja persahabatan ini. Kadang-kadang, ketika kita beraksi sejauh itu (memintanya menjadi pacar), dia merasa dikhianati sebab kita di kutuk telah mensalahartikan kebaikannya selama ini ketika dia menjadi sahabat. Sikapnya yang demikian membuatnya untuk tidak lagi percaya sama kita, padahal itu prinsip utama persahabatan. Sehingga untuk menjadikannya tetap menjadi sahabatpun susah. Memang, terasa ini tidak fair di mana sebenarnya sikap-sikapnya itu tidak beralasan yang tepat, karena kita sebenarnya tidak serendah itu. Kita pada awalnya mungkin hanya ingin mengekspresikan gejolak hati kita agar tidak menjadi beban yang terlalu lama terpendam. Tapi inilah salah satu konsekuensi yang harus siap dihadapi.
Kedua, kita dengan seseorang tersebut mampu membangun komitmen untuk tetap menjadi teman. Namun ternyata fakta membuktikan bahwa pertemanan setelah terjadi insiden seperti ini tidak akan mampu seindah dulu. Di mana saling canggung adalah sebabnya, dan menjadi garing sebagai akibatnya. Jelas, factor yang menyebabkan ini adalah saling kecurigaan, terutama berasal dari seseorang tersebut, yang merasa pasti kita tetap berteman atau bergaul karena ada maunya. Meskipun kecurigaan ini jarang terbukti, hal tersebut cenderung dipraktikkan. Pada akhirnya, walaupun kita sudah membuat komitmen untuk tetap menjadi teman/sahabat, selanjutnya hubungan tersebut bakal menguap. Seseorang tersebut tidak lagi bisa menjadi sesosok yang mampu mengeti, mendengarkan dan memotivasi kita—sahabatpun hilang.
Ketiga, kita dengan seseorang tersebut berkomitmen untuk menjadi teman/sahabat, namun berbeda dari yang kedua, karena kita dengan seseorang tersebut bisa menjalin hubungan yang lebih tinggi pada akhirnya, misal memilikinya bukan sebagai pacar, tapi malah sebagai istri atau suami. Ada beberapa alasan untuk ini: (a) alasan mengapa dia menolak, masalahnya bukan ada pada dari kita, namun komitmennya untuk fokus dalam studi, karier, atau ingin, menjaga nilai-nilai keagamaan. Bisa dikatakan, kita mengungkapkan cinta pada waktu yang belum tepat. Memang sering seseorang tersebut tidak mengatakan alasan mengapa ia menolak kita. Karena sebenarnya pertimbangan yang dia lakukan adalah untuk kebaikan kita. Dia tidak ingin kita terlalu bergantung dan terikat olehnya karena kita tahu bahwa alasan mengapa ia menolak adalah waktu kita yang belum tepat. Dia tidak mau, secara psikologis kita terbebani untuk menunggunya.
(b) yang kedua adalah memang pada saat kita mengungkapkan cinta (menembak), dirinya belum sama sekali memiliki rasa untuk kita. Namun, setelah dirinya mengetahui bahwa kita mencintainya, dia akan mencari tahu apakah kita memang benar-benar layak untuk dimilikinya. Ketika setelah itu kita menunjukkan bahwa diri kita berkualitas, diukur dari prestasi akademis, karir puncak, ketenaran, dsb, maka seseorang yang kita cintai tersebut akan menilai bahwa kita layak untuk dimilikinya. Ingat! Perasaan adalah hal yang sering dan pasti berubah. Ketika kita benci kepada seseorang hari ini, tidak berarti besok kita tetap membencinya, karena siapa tahu dia adalah seorang yang kita cintai. (c) selanjutnya adalah alasan yang luar biasa. “Kita tidak diizinkan Tuhan untuk berpacaran.” Ya, dengan segala kehendak dan kemampuan-Nya, meskipun kita sudah mencukupi syarat untuk dicintai, dan seseorang yang kita cinta merasa berhak memiliki kita, Tuhan bisa saja menciptakan suatu kondisi di mana itu tidak akan terjadi. Di mana pada akhirnya, niat untuk pacaran tidak terpenuhi. Itu adalah wujud kecintaan Tuhan kepada kita. Tuhan tidak mau, ketika Dia mengizinkan kita untuk pacaran, akhirnya kita lupa dengan-Nya. Tuhan tidak ingin, bahwa gara-gara pacaran, prestasi kita akan buruk, cita-cita tidak tercapai, dan kehidupan jauh dari nilai-nilai agama. Inilah kebesaran dan keagungan Tuhan yang begitu peduli dengan kita, sehingga mengintervensi niat kita untuk memiliki pacar. Berterimakasihlah pada-Nya!
Untuk sahabat, kita sering berjudi, mengundi nasib, menempuh ketidakpastian. Karena tidak puas memilikinya sebagai seorang sahabat, kita harus bergelut dan bersiap menanggung konsekuensi-konsekuensi ketika kita ingin memilikinya lebih dari sekedar sahabat. Kita selalu berharap, apapun yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan, mampu menjaga tali persahabatan. Untuk pengorbanan dan pengabdian yang kita lakukan, kita ikhlas karena itu adalah teruntuk sahabat. Pada akhirnya marilah kita bersama-sama sampaikan kepada sahabat kita di sana entah di mana, sambil berharap dia mendengarkan ucapan kita dengan hati kecil dan batinnya: Tak akan aku lupakan saat bersamamu. Tetaplah jadi sahabatku, seperti kaumenemukan dirimu dalam diriku (Ludwig van Beethoven)

Tidak ada komentar: