Minggu, 14 Februari 2010

Mengapa Harus Bekerja Keras, kalau Santai aja Bisa Sukses

Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim

Halo sahabat pembaca, aku ingat beberapa minggu yang lalu ada tulisan yang menginspirasiku. Aku dapat dari buku “The Lazy Person’s Guide to Success” karangannya Ernie J. Zelinski. Dari judulnya aja sudah menarik, tuntunan agar orang malas bisa sukses. Secara umum buku itu bercerita bahwa paradigma saat ini yang banyak dianut, yakni paradigma bekerja keras itu salah. Mengapa salah? Karena sulit kita menemukan kebahagiaan ketika kita menyibukkan diri dengan kerja keras. Misal, kita nggak lagi punya waktu luang untuk bersantai, bergaul, nonton, mengerjakan hobi kita, atau membaca buku-buku. Padahal hidup kita hanya sekali lho, seharusnya kita gunakan setiap waktu untuk menikmati kebahagiaan. Lebih lanjut buku itu mengisahkan bahwa sebenarnya orang-orang itu sibuk karena mengejar sesuatu yang dirinya sendiri tidak paham, apakah pada akhirnya bisa membawa kebahagiaan atau tidak. Gampangnya gini, pada umumnya tujuan bekerja keras itu adalah untuk uang. Ya, nantinya dengan bekerja itu mereka bisa mendapatkan uang. Tapi apakah uang tersebut bisa menjamin kenyamanan dan kebahagiaan hidup? Tidak sepenuhnya benar, karena dirinya tidak memiliki waktu cukup untuk itu, kan sudah berparadigma kerja keras.

Lalu sebenarnya yang kita butuhkan itu apa dong kalau bukan bekerja keras untuk meraih sukses? Jawabannya adalah, bekerjalah lebih sedikit dan berpikir lebih banyak. Itulah jawabannya. Dari jawaban ini kita akan segera tahu bahwa sebenarnya orang yang sukses BESAR, bukan sukses biasa, dalam hidup ini adalah orang-orang yang kreatif. Dan pasti tahu dong, kalau kreatif itu dihasilkan dari proses berpikir. Lihat saja, Bill Gates, Ciputra, atau Sandiaga S. Uno mereka adalah orang-orang yang sukses, di atas rata-rata orang kebanyakan. Apakah mereka sibuk? Tidak sepenuhnya, karena yang lebih sibuk adalah karyawan-karyawannya. Mereka ini adalah orang-orang yang berpikir, menjajaki kreatifitas, sehingga bisa demikian.

Aku ingin berbagi juga pengalaman pribadiku tentang mempraktikkan ilmu ini. Aku saat ini menjadi pelatih debat bahasa inggris di dua SMA di daerah Yogyakarta, satu negeri dan satunya lagi swasta. Dalam satu minggu aku bertanggungjawab melatih sebanyak dua kali di masing-masing sekolah tersebut. Satu pertemuan kurang lebih dua jam. Di kelas, aku mengajarkan tentang bagaimana cara menyusun argument, menyampaikan argument, melihat masalah dari sudut pandang lain, bagimana menjadi public speaker yang baik, dan juga memotivasi anak-anak untuk bisa maju debatnya. Sebuah aktivitas yang tidak memerlukan keringat, hanya bermodalkan mulut dan pikiran saja. Aku menerima hakku sebagai pelatih di setiap awal bulan. Rata-rata aku mendapatkan Rp 800.ooo per bulan. Belum lagi kalau aku diminta untuk melakukan intensive training untuk anak-anak debat tersebut ketika sekolah itu diundang untuk kompetisi, maka aku bisa mendapatkan lebih dari itu. Lumayan lah aku kira! Untuk seorang lulusan SMA tahun 2009 kemarin. Belum punya ijazah S1, semester 2 pun baru mau mulai.

Pada suatu malam, setelah selesai nglatih debat, aku mampir di tempat makan nasi goring pinggir jalan. Waktu itu sudah larut malam jadi sepi, sehingga mas-mas penjualnya tidak melayani pelanggan lain dan bercakap-cakap denganku. Tiba-tiba aku mempunyai inisiatif bertanya, “Mas! Setiap bulan penghasilannya berapa?” Masnya kaget, “Kenapa dik?” “Nggak papa, tanya aja mas! Init uh mas sewa atau miliki sendiri usaha ini?” Kemudian ma itu mulai menjelaskan, “Ini sewaan dik, mahal kalau mau punya usaha sendiri. Modal belum ada. Penghasilan setiap malam dari penjualan saya setorkan di Bos. Rata-rata penghasilan bersih yang disetorkan sekitar Rp 200.000. Gaji saya, setiap bulan tidak lebih dari Rp 450.000.” Aku lumayan kaget dengan jawaban masnya tadi. Berarti setiap malam hanya digaji Rp 15.000? Padahal kerjanya mulai dari Jam 5 sore dan pulangnya jam 1 malam (7 jam). Lagipula sebelum jam-jam itu pasti di kos (masnya asli Madura, di Jogja ngekos) udah habisin waktu untuk siap-siap, dan juga beli bahan di pasar. Aku kasihan mendengarnya. Aku kemudian membayangkan, kalau kuantitas waktu nglatih debatku seperi yang dihabisin mas-masnya untu berdagang, gajiku sebulan bisa mencapai Rp 5.775.000 per bulan. Berarti harga waktuku 13 kali lebih banyak dari harga waktu masnya.

Dari sini aku ingin menyampaikan bahwa aku bisa kerja lebih nyantai, lebih terhormat, dan ternyata menghasilkan uang yang jauh lebih banyak. Inilah fungsi kita memiliki pikiran. Akyu hanya butuh untuk memilih metode ngklatih yang efektif, baca isyu-isyu untuk bahan debat, lagi pula aku bisa bertambah pinter dengan aktivitasku seperti ini. Kerja dengan hanya mengandalkan tenaga fisik hanya akan berakhir demikian. Contoh lain adalah pekerja kasar bangunan yang setiap harinya digaji Rp 30.000, bekerja dari jam 8 pagi hingga 2 siang. Pastinya gaji arsitektur bangunan tersebut punya gaji berlipat lebih banyak, hanya perlu kreatifitas untuk menggambar, tanpa harus keluar banyak keringat mengangkat barang-barang.

Kesimpulan dari tulisanku hari ini adalah, mari kita pikirkan kembali aktivitas-aktiitas yang selama ini kita jalani dan anggap biasa. Apakah di sana masih ada cara lain untuk mengerjakan aktifitas-aktifitas tersebut sehingga lebih efektif, mudah dan menyenangkan? Dan marilah juga pikirkan, apakah kita sudah memiliki tujuan pasti ketika melakukan aktifitas tersebut? Selamat bekerja lebih sedikit, berpikir lebih banyak…dan rasakan kesenangan!

Tidak ada komentar: